Kamis, 16 April 2015


PENGERTIAN ETIKA 

 

    Apa itu Etika Komputer ..???

    Etika komputer adalah sebagai analisis mengenai sifat dan dampak sosial teknologi komputer, serta formulasi dan justifikasi kebijakan untuk menggunakan teknologi tersebut secara etis. Etika komputer juga bisa di definisikan  sebuah frase yang sering digunakan namun sulit untuk didefinisikan. Untuk menanamkan kebiasaan komputer yang sesuai, etika harus dijadikan kebijakan organsasi etis. Sejumlah organisasi mengalamatkan isu mengenai etika komputer dan telah menghasilkan guideline etika komputer, kode etik.


    Adapun Prinsip-Prinsip Etika Komputer Tersebut Meliputi :

    PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI :
    1. Tanggung jawab
    - Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
    - Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat
    pada umumnya.
    2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa
    yang menjadi haknya.
    3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri
    kebebasan dalam menjalankan profesinya.


    dari prinsip- prinsip di atas dibuatlah UU untuk Kode Etik

    MENURUT UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN)
    Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam
    melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari.

    Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan
    lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan
    dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci
    norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma
    tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah
    sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang
    apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional


    TUJUAN KODE ETIK PROFESI :
    1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
    2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
    3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
    4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
    5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
    6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
    7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
    8. Menentukan baku standarnya sendiri.

    Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :
    1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas
    yang digariskan.
    2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
    3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang. Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat
    HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.


    SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :
    a. Sanksi moral
    b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi
    Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi
    mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek seharihari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu
    solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru
    kemudian dapat melaksanakannya.

    adapun Hukum untuk kode etik tersebut yaitu :

        Jangan menggunakan komputer untuk menyakiti orang lain.
        [Thou shalt not use a computer to harm other people.]
        Jangan mengganggu pekerjaan komputer orang lain.
        [Thou shalt not interfere with other people's computer work.]
        Jangan mengintip file komputer orang lain.
        [Thou shalt not snoop around in other people's computer files.]
        Jangan menggunakan komputer untuk mencuri.
        [Thou shalt not use a computer to steal.]
        Jangan menggunakan komputer untuk memberikan saksi dusta.
        [Thou shalt not use a computer to bear false witness.]
        Jangan menggunakan software sebelum anda membayar copyrightnya.
        [Thou shalt not copy or use proprietary software for which you have not paid.]
        Jangan menggunakan sumber daya komputer orang lain tanpa otorisasi atau kompensasi yang wajar.
        [Thou shalt not use other people's computer resorces without authorization or proper compensation.]
        Jangan membajak hasil kerja intelek orang lain.
        [Thou shalt not appropriate other people's intellectual output.]
        Pikirkan konsekuensi sosial dari program atau sistem yang sedang anda buat atau rancang.
        [Thou shalt think about the social consequences of the program you are writing or the system you are designing.]
        Thou shalt always use a computer in ways that insure consideration and respect for your fellow humans.
        [Gunakan komputer dengan pertimbangan penuh tanggungjawab dan rasa hormat kepada sesama manusia.]. Computer Ethics Institute
        Washington DC 20036


    Sejarah dan perkembangan Etika Komputer, yaitu :

    1. Era 1940 – 1950

    Munculnya etika komputer sebagai sebuah bidang studi dimulai oleh pekerjaan Prof.  Nobert Wiener dari MIT AS membantu mengembangkan suatu meriam anti pesawat yang mampu menembak jatuh sebuah pesawat tempur yang melintas diatasnya. Hasil Penelitiannya di bidang etika dan teknologi disebut Cybernetics atau The Science of information feedback Systems yang merupakan cikal bakal Teknologi informasi (TI) yang kita kenal sekarang. Pengaruh sosial tentang arti penting teknologi tersebut ternyata memberikan kebaikan sekaligus malapetaka

    2. Era 1960

    Donn Parker pada pertengahan 1960 melakukan riset untuk menguji penggunaan komputer yang tidak sah dan tidak sesuai dengan profesionalisme bidang komputer. Pada tahun 1968 memimpin pengembangan kode etik profesional untuk ACM (Association Computing Machinery)

    3. Era 1970

    Joseph Weizenbaum ilmuan komputer MIT di Boston menciptakan program yand disebut ELIZA dalam Eksperimennya melakukakan wawancara dengan pasien yang akan diobatinya (Otomatisasi Psikoterapi)

    4. Era 1980

    Pertengahan 80-an James Moor dari Dartmounth college membuat artikel menarik yang berjudul What is Computer Ethics?. Sedangkan Deborah Johnson dari Rensseler Polytechinal Institute menerbitkan buku teks pertama yang digunakan lebih dari satu dekade

    5. Era 1990 sampai saat ini


    RUANG LINGKUP KEJAHATAN DUNIA CYBER
    Definisi dan Jenis Kejahatan Dunia Cyber
    Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik. Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
    ataupun kepemilikan pribadi.

    Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi. Versi lain
    membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
    Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
    a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
    pencurian waktu operasi komputer.
    b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
    c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data
    atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak
    terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.

    d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang
    harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara,
    perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
    e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara
    tidak sah, mengubah input data atau output data.
    f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
    g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
    Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12). Pola umum yang digunakan untuk menyerang jaringan komputer adalah memperoleh akses terhadap account user dan kemudian menggunakan sistem milik korban sebagai platform untuk menyerang situs lain. Hal ini dapat diselesaikan dalam waktu 45 detik dan
    mengotomatisasi akan sangat mengurangi waktu yang diperlukan (Purbo, dan Wijahirto,2000: 9).


    Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda
    dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas
    teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.
    Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan
    internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
    Berita Kompas Cyber Media (19/3/2002) menulis bahwa berdasarkan survei AC Nielsen
    2001 Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di
    Asia dalam tindak kejahatan di internet. Meski tidak disebutkan secara rinci kejahatan
    macam apa saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat dalam kejahatan
    tersebut, hal ini merupakan peringatan bagi semua pihak untuk mewaspadai kejahatan
    yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna teknologi informasi (Heru Sutadi,
    Kompas, 12 April 2002, 30).


    Menurut RM. Roy Suryo dalam Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 h.12, kasus-kasus
    cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan
    modusnya, yaitu:
    1. Pencurian Nomor Kartu Kredit.
    Menurut Rommy Alkatiry (Wakil Kabid Informatika KADIN), penyalahgunaan kartu
    kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang
    berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia.
    Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan
    secara fisik atau on-line. Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di
    berbagai tempat (restaurant, hotel atau segala tempat yang melakukan transaksi
    pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di
    internet.
    2. Memasuki, memodifikasi atau merusak homepage (hacking)

    Menurut John. S. Tumiwa pada umumnya tindakan hacker Indonesia belum separah
    aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs
    komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan memberitahukan kepada
    pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem
    perbankan dan merusak data base bank.
    3. Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming.
    Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut
    RM. Roy Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang
    cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang
    ada belum menjangkaunya.
    Sementara itu As’ad Yusuf memerinci kasus-kasus cybercrime yang sering terjadi di
    Indonesia menjadi lima, yaitu:
    a. Pencurian nomor kartu kredit.

    b. Pengambilalihan situs web milik orang lain.
    c. Pencurian akses internet yang sering dialami oleh ISP.
    d. Kejahatan nama domain.
    e. Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.
    Khusus cybercrime dalam e-commerce, oleh Edmon Makarim didefinisikan sebagai
    segala tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain dalam perdagangan
    melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa modus baru seperti jual-beli
    data konsumen dan penyajian informasi yang tidak benar dalam situs bisnis mulai sering
    terjadi dalam e-commerce ini.
    Menurut Mas Wigrantoro dalam BisTek No. 10, 24 Juli 2000, h. 52 secara garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
    a. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan
    integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah
    kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.

    b. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman
    barang melalui internet.
    c. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi
    pengguna maupun penyedia content.
    d. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang
    dialirkan melalui internet.
    e. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui
    internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi
    hukum.
    Saat ini di Indonesia sudah dibuat naskah rancangan undang-undang cyberlaw yang
    dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung bekerja sama dengan Departemen Pos dan telekomunikasi. Hingga saat ini naskah RUU Cyberlaw tersebut belum disahkan sementara kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan kriminalitas di internet terus bermunculan mulai dari pembajakan kartu kredit, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi, perusakan web site sampai dengan pencurian data. Kasus yang terkenal diantaranya adalah kasus klik BCA dan kasus bobolnya situs KPU. Saat ini regulasi yang dipergunakan sebagai dasar hukum atas kasus-kasus cybercrime adalah Undang-undang Telekomunikasi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, interpretasi yang dilakukan atas pasal-pasal KUHP dalam kasus cybercrime terkadang kurang tepat untuk diterapkan. Oleh karena itu urgensi pengesahan RUU Cyberlaw perlu diprioritaskan untuk menghadapi era cyberspace dengan segala konsekuensi yang menyertainya termasuk maraknya cybercrime belakangan ini.
    PENDEKATAN HUKUM UNTUK
    KEAMANAN DUNIA CYBER

    Asas Hukum Untuk Dunia Cyber

    Untuk Indonesia, regulasi hukum cyber menjadi bagian penting dalam sistem hukum positif secara keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera menuntaskan Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk dijadikan hukum positif, mengingat aktivitas penggunaan dan
    pelanggarannya telah demikian tinggi. Regulasi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat demi terciptanya kepastian hukum. RUU ITE sendiri dalam hal materi dan muatannya telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum

    menyangkut tindak pidana carding, hacking dan cracking, dalam sebuah bab tentang perbuatan yang dilarang dimuat ketentuan yang terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi, yang diikuti dengan sanksi pidananya. Demikian juga tindak pidana dalam RUU ITE ini diformulasikan dalam bentuk delik formil, sehingga tanpa
    adanya laporan kerugian dari korban aparat sudah dapat melakukan tindakan hukum. Hal ini berbeda dengan delik materil yang perlu terlebih dulu adanya unsur kerugian dari korban.
    RUU ITE merupakan satu upaya penting dalam setidaknya dua hal, pertama :
    pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin. Kedua: Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
    pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk untuk tindakan carding, hacking dan cracking.

    Untuk selanjutnya setelah RUU ITE diundangkan, pemerintah perlu pula untuk memulai penyusunan regulasi terkait dengan tindak pidana cyber (Cyber Crime), mengingat masih ada tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam RUU ITE tetapi dicakup dalam instrumen Hukum Internasional di bidang tindak pidana cyber, misalnya
    menyangkut tindak pidana pornografi, deufamation, dan perjudian maya. Untuk hal yang terakhir ini perlu untuk mengkaji lebih jauh Convention on Cyber Crime 2000, sebagai instrumen tindak pidana cyber internasional, sehingga regulasi yang dibuat akan sejalan dengan kaidah-kaidah internasional, atau lebih jauh akan merupakan
    implementasi (implementing legislation) dari konvensi yang saat ini mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat internasional.

    Sejak Maret 2003 lalu Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) mulai menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (IETE) - yang semula bernama Informasi, Komunikasi dan
    Transaksi Elektronik (IKTE). RUU ITE itu merupakan gabungan dari dua RUU, yaitu RUU tentang Pemanfaatan TI (PTI), dan Tandatangan Elektronik dan Transaksi Elektronik (TE). RUU PTI disusun oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Departemen
    Perhubungan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran(Unpad) dan Tim asistensi dari ITB. Sedang RUU TE dimotori oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI) dengan jalur Departemen Perindustrian
    dan Perdagangan. RUU tersebut dimaksudkan menjadi payung bagi aturan-aturan yang ada di bawahnya. Hanya saja, jika semua aspek dimasukkan, sehingga menjadi sangat luas, bisa jadi justru
    membingungkan, sehingga pengimplementasiannya menjadi tidak optimal. Idealnya, pemerintah perlu membuat UU untuk setiap bagian khusus seperti digital signature, ebanking, e-Governmet, atau UU spesifik lainnya. Tetapi, itu harus mau menunggu lebih
    lama lagi karena sampai saat ini belum ada pegangan dalam bentuk UU lain. Sementara jumlah topik yang harus dibahas sangat banyak.

    UU ITE dapat di lihat disini

    Yang menarik, RUU PTI juga mengatur perluasan masalah yurisdiksi yang memungkinkan pengadilan Indonesia mengadili siapa saja yang melakukan tindak pidana bidang TI yang dampaknya dirasakan di Indonesia. Contohnya, jika cracker asing melakukan kejahatan terhadap satu bank di Indonesia, maka berdasarkan pasal 33 dan 34 RUU PTI, pengadilan Indonesia berwenang mengadili orang itu jika masuk ke Indonesia. Selama ini, kejahatan yang melibatkan orang Indonesia dan asing sangat marak, namun penyidikan kejahatan cyber tersebut selalu terganjal masalah yurisdiksi ini.
    Hal tersebut seharusnya memang diantisipasi sejak awal, karena eksistensi TI dengan perkembangannya yang sangat pesat telah melahirkan kecemasan-kecemasan baru seiring maraknya kejahatan di dunia cyber yang semakin canggih. Lebih dari itu, TI yang tidak
    mengenal batas-batas teritorial dan beroperasi secara maya juga menuntut pemerintah mengantisipasi aktivitas-aktivitas baru yang harus diatur oleh hukum yang berlaku, terutama memasuki pasar bebas AFTA yang telah dimulai awal tahun ini.

    dikutip dari :

    PENDEKATAN HUKUM UNTUK KEAMANAN DUNIA CYBER SERTA URGENSl CYBER LAW BAGI INDONESIA

0 komentar:

Posting Komentar

Profil Me

Nama Fatimah Zahra

Hobbi Jejaring sosial

Pacar SINGLE

Sekolah MAN SOLEAR

Like me

Pages

Ads

SPACE 083815113323
Diberdayakan oleh Blogger.

Sosial Media

Follow me Lalla Daffodil

Add Me Lalla.daffodil

Followers

Kritik Dan Saran

untuk Kritik dan Saran bisa langsung chat ke FB : Lalla Daffodil

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget